Apa saja dalil-dalil itu? Benarkah gagasan ini bukan sekadar transformasi linear pergeseran koordinat meridian 0° dari Kota Greenwich ke arah “kanan” (ke Ka‘bah di Kota Makkah) sejauh 40 satuan derajat (+40° Bujur Timur Greenwich) pada bidang proyeksi Mercator? Lalu betulkah selama ini ummat Islam di seluruh dunia sudah terkecoh dengan sistem yang keliru, sehingga perlu meñata-ulang jadwal waktu ibadah harian ummat Islam di Indonesia dan ummat Islam yang berkedudukan di wilayah di antara Masjid I-Haram (terletak di meridian 40º Bujur Timur/BT Greenwich) dan “Garis Tanggal Internasional” (International Date Line atau meridian 180º Greenwich). Buku ini mencoba untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.
Bermula dari suatu malam di bulan Jumadi l-Awal 1415 (Oktober 1994), penulis kedatangan dua sahabat, salah satunya bernama Harits Abu Ukasyah, dan membawa oleh-oleh berupa beberapa buah “jam dinding” dengan bingkai terbuat dari kayu pinus limbah petikemas barang-barang impor - yang konon merupakan hasil rekayasa-ulang (re-engineering) mereka - berikut buku petunjuknya (“Jam Hijriyah: Solar Time”) yang ditulis oleh Harits Abu Ukasyah sendiri.
Yang unik pada jam dinding itu adalah semua jarumnya berputar dari kanan ke kiri, kebalikan dari arah perputaran jarum-jarum jam yang lazim kita kenal. Orang lazim menyebut gerak berlawanan arah jarum jam sebagai (counter clockwise). Keunikan lain yang ada pada sistem khronometer tersebut adalah pukul 00:00:00 sebagai “awal hari” bukan dimulai dari “tengah malam,” melainkan dari “petang,” berimpit dengan pukul 18:00:00 pada jam biasa.
Dari pertemuan dan oleh-oleh jam Hijriyah itu kemudian terjadi diskusi. Meskipun menyadari bukan atronomer professional, penulis ketika itu mengaku sangat tertarik untuk mengkajinya. Layangan pikiran penulis ketika itu adalah bagaimana penjelasan kedua sahabat penulis itu dapat dijadikan hujjah (argumentasi) mengapa arah gerak bagi hal-hal yang baik harus dimulai dari kanan ke kiri (halaman 2). Selain itu, mereka pun mencoba membuka-buka berbagai kitab hadits, mencari kalau-kalau ada nash yang dapat pula dijadikan sebagai hujjah.
Arah perputaran jarum “Jam Fithrah” dari kanan ke kiri tersebut juga sesuai dengan Sunnah Rasul, yakni “mendahulukan yang kanan dari yang kiri” dalam mengerjakan setiap pekerjaan yang baik-baik, baik pekerjaan ibadah ukhrowi maupun pekerjaan duniawi, termasuk ber-Thawaf mengelilingi ka‘bah dalam rangkaian ibadah haji di Masjid l-Haram.
Oleh karena itu, “Jam Fithrah” dapat juga disebut “Jam Thawaf. Dalam urusan syari’ah, selain dalam ibadah Thawaf -yang arah putarannya dari kanan ke kiri (dilihat dari atas ke bawah atau dari posisi orang yang sedang ber-Thawaf), menolehkan wajah ke kanan terlebih dahulu daripada menoleh ke kiri juga wajib dalam pengucapan dua kalimat salam sebagai akhir ibadah shalat. Rasulullãh saw.
Dari kedua alasan tadi, nampaknya yang selama ini lazim kita sebut sebagai “clockwise” (searah jarum jam) sebenarnya lebih tepat kita sebut “counter naturalwise” (bertentangan dengan arah gerak alamiah); sedangkan yang lazim kita sebut sebagai “counter clock-wise” (kebalikan arah jarum jam) justeru lebih tepat disebut “natural-wise” atau “Fithrahwise” (searah dengan gerak alami atau searah dengan gerak Fithrah).
Menurut penulis, ummat Islam sebenarnya telah memiliki sistem tata - waktu sendiri, yakni sistem almanak qamariyah-syamsiyah (lunar and solar systems), yang ternyata tidak terlalu banyak dipahami oleh ummat Islam sendiri. Bagi ummat Islam, sistem almanak qamariyahsyamsiyah mengatur antara lain mengenai jumlah hari dalam setahun, mengapa 12 bulan dalam setahun, dan satu minggu (week) yang terdiri atas tujuh hari, yang semuanya bukan karya manusia atau hasil rekayasa, hasil perhitungan matematis-astronomis melainkan juga ketetapan Allãh yang Maha Memiliki Ilmu, yang dapat pula Anda temui di dalam Al-Qur’an.
Dijelaskan, ummat Islam di seluruh dunia mengakui keabsahan dan ketetapan (validity and applicability) sistem almanak syamsiyah yang membagi waktu satu tahun 365 hari, bukan karena penerapan tata waktu syamsiyah murni yang digunakan sebagai dasar bagi sistem almanak Grogorian atau almanak Masehi sejak 4 Oktober 1582, tapi karena hal itu memang ditemui di dalam Al-Qur’an.
Buku ini terdiri dari empat bab. Pada Bab I, penulis menjelaskan sekitar awal munculnya gagasan KUT. Bab II membahas tentang konsepsi KUT, paradigma keterkecohan dan kembali kepada Kitabullah. Bab III mengupas awal hari bagi umat Islam meliputi sistem almanak Masehi dan sistem almanak Hijriah, mu’jizat Falaqiyah dan Imsyakiyah di balik peristiwa Hijrah. Lalu pada Bab IV dijelaskan soal penampakan hilal terbaik dan penetapan.
Pandangan yang aneh itu, diakui penulis, pada bagian Pengantar, ketika mengisahkan tanggapan seorang cendikiawan muslim dari ITB, yang menyebut konsepsi Ka’bah Universal Time atau Ka’bah Meridian System” yang digagasnya sebagai “sekadar transformasi linear”. Menurut professor itu, hanya sekadar pergeseran linear ‘awal hari’ dari meridian 180° Greenwich ke Meridian Nol Ka’bah atau pergeseran linear Meridian Nol Greenwich ke Meridian Nol Ka’bah.
Namun, tegas penulis, KUT ini bukanlah sekadar “transformasi linear” penggeseran koordinat meridian 0° dari kota Greenwich ke arah “kanan” (ke Ka‘bah di Kota Mekkah) sejauh 40 satuan derajat (+40° Bujur Timur Greenwich) pada bidang proyeksi Mercator. Justru konsepsiini pada hakikatnya adalah “transformasi hati dan pikiran” Ummat Islam dari “ketersesatan” dan “keterkecohan” untuk kembali kepada “fithrah”: Al-Qur’an dan As-Sunnah; agar disempurnakan ni‘matNya atas umat Islam dan agar umat Islam selalu mendapat petunjuk-Nya
Red: taufik rachman
Tidak ada komentar:
Posting Komentar